Kebudayaan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu selaras
dengan dinamika masyarakat pendukungnya. Munculnya perubahan kebudayaan
dapat terjadi akibat faktor-faktor internal yang muncul dari dinamika
yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri
atau akibat pengaruh yang berasal dari luar masyarakat itu1. Faktor
internal yang mengakibatkan perubahan kebudayaan adalah terjadinya
perkembangan pola pikir, kebiasaan, pandangan hidup serta berbagai
kepentingan kelompok manusia di dalam wadah komunitas masyarakat yang
menjadi pendukung kebudayaan itu. Adapun faktor eksternal perubahan
kebudayaan terjadi sebagai akibat terjadinya penyebaran kebudayaan dari
individu ke individu lain dalam satu masyarakat atau dari suatu
masyarakat ke masyarakat lain dalam wacana difusi kebudayaan2.
Kebudayaan Banyumas yang semula berkembang di lingkungan masyarakat
yang berpola kehidupan tradisional-agraris, pada gilirannya tidak lepas
dari perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan jaman yang mengarah
pada pola modern-teknologis. Proses perubahan semacam ini menurut
Parsudi Suparlan terjadi melalui substitusi (penggantian unsur-unsur
yang lama oleh unsur-unsur yang baru secara fungsional dapat diterima
oleh unsur-unsur lainnya) atau hilangnya unsur atau seperangkat unsur
tanpa ada gantinya. Perubahan juga dapat terjadi melalui penambahan
unsur-unsur baru dalam kebudayaan tanpa menghilangkan unsur-unsur yang
sudah ada dalam kebudayaan tersebut3.
Perubahan sosial di daerah Banyumas telah memberikan imbas terhadap
hampir semua aspek kehidupan masyarakatnya, tidak terkecuali di bidang
kesenian. Akhir-akhir ini di Banyumas tengah terjadi booming
perkembangan musik kenthongan. Pada mulanya kenthongan dalam kehidupan
masyarakat tradisional merupakan alat atau sarana komunikasi. Kini alat
tradisional ini telah menjadi salah satu bentuk musik alternatif yang
sangat digemari oleh hampir semua kalangan, baik tua maupun muda. Musik
kenthongan yang sering juga disebut dengan istilah musik thek-thek dan
atau themling tumbuh di hampir setiap desa, bahkan RW (Rukun Warga),
dalam bentuk-bentuk perkumpulan dengan anggota antara 40-65 orang tiap
grup.
Data Kesenian Kabupaten Banyumas Tahun 2004 pada Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Banyumas menyebutkan bahwa pada tahun 2004
perkumpulan kenthongan di daerah ini berjumlah 368 grup. Dengan rasio
jumlah kecamatan di Kabupaten Banyumas sebanyak 27 buah, maka setiap
kecamatan hampir mencapai lebih dari 13,6 grup. Apabila dibanding dengan
jumlah desa/kelurahan di daerah ini yang berjumlah 330 desa, maka ada
1,1 grup kenthongan di setiap desa. Sesungguhnya tidak setiap
desa/kelurahan ada grup-grup kenthongan, tetapi ada desa/kelurahan yang
memiliki perkumpulan kenthongan tiga atau empat grup.
Keberadaan musik kenthongan di Banyumas tidak lepas dari
kecenderungan perubahan masyarakat setempat yang hidup dalam era
transisi budaya. Pada situasi demikian, unsur-unsur budaya lama yang
berpola tradisional-agraris tidak begitu saja tergantikan oleh
unsur-unsur baru yang modern teknologis. Demikian pula berbagai aturan
tradisi yang cenderung mengikat sebagai bentuk kristalisasi nilai-nilai
yang telah berlangsung turun-temurun, tidak begitu saja tergantikan oleh
unsur-unsur baru yang berorientasi praktis-pragmatis. Hal demikian
nampak sekali dalam wujud sajian musik kenthongan yang mencerminkan
adanya penggabungan kedua unsur tersebut.
Pada satu sisi musik ini merupakan bentuk reproduksi dari berbagai
ragam seni pertunjukan yang sudah ada sebelumnya. Di dalam musik
kenthongan terdapat unsur musik tradisional calung, angklung, tari
tradisional Banyumasan dan kostum yang bercorak tradisional. Namun
demikian di dalamnya dapat dengan mudah dijumpai ciri-ciri tertentu yang
mencerminkannya sebagai produk seni masa kini, misalnya hadirnya warna
musik “pop”, modern dance dan marching band. Selain itu di dalamnya juga
senantiasa dilakukan usaha-usaha inovasi yang bertujuan untuk
“mempercantik diri” agar penampilannya tampak lebih menarik dan memiliki
kekhasan tersendiri. Hal terakhir ini telah menyebabkan setiap grup
kenthongan senantiasa berusaha tampil dengan warna penampilan yang
berbeda-beda antara satu grup dan grup yang lain.
Banyumas; Open Culture
Dalam konteks kebudayaan, Banyumas bukan sekedar wilayah
administratif yang dipimpin oleh seorang Bupati. Banyumas adalah wilayah
kebudayaan dari suatu komunitas masyarakat yang berpola kehidupan
tradisional-agraris yang telah menjadi muara berbagai ragam kebudayaan.
Perjalanan kebudayaan Banyumas tidak lepas dari komunikasi lintas budaya
yang melibatkan unsur-unsur budaya asing ke dalam kebudayaan masyarakat
setempat. Unsur-unsur budaya asing yang telah mewarnai pertumbuhan dan
perkembangan kebudayaan Banyumas adalah sebagaimana terpapar dalam
uraian berikut. Dua kutub budaya besar: Jawa-Sunda. Letak geografis
Banyumas berada di daerah antara dua kutub budaya besar yaitu budaya
Jawa dan budaya Sunda. Sebagai daerah yang berada di wilayah marginal
survival, keberadaan kebudayaan Banyumas tidak lepas dari pengaruh dua
kutub budaya tersebut. Pengaruh Jawa-Sunda di daerah ini dapat dijumpai
pada hampir segala aspek kehidupan, terutama pada pemahaman tentang
leluhur, kesenian dan bahasa.
Masyarakat Banyumas dikenal memiliki dua leluhur yang berasal dari
dua alur sejarah yang berbeda, yakni Majapahit dan Pajajaran4. Raden
Baribin yang dianggap menurunkan adipati-adipati Banyumas adalah adik
dari Brawijaya V dari Majapahit yang menikah dengan Retna Pamekas, salah
seorang putri Pajajaran. Keyakinan tentang keterkaitan Banyumas dengan
Sunda bahkan sudah ada sebelum itu. Di dalam Babad Kamandaka5 disebutkan
bahwa Putri Bungsu Ciptoroso, anak terakhir dari Adipati Kandandaha
dari Kadipaten Pasirluhur telah menikah dengan Raden Kamandaka yang
merupakan salah seorang anak Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran.
Dalam bidang kesenian, di Banyumas berkembang berbagai macam kesenian
yang sangat dipengaruhi oleh kultur Jawa-Sunda. Kesenian lengger yang
berkembang di wilayah sebaran budaya Jawa dengan istilah tayub, di
Banyumas disebut juga dengan istilah ronggeng. Kesenian ronggeng adalah
salah satu jenis seni pertunjukan tradisional yang berkembang di Jawa
Barat yang notabene merupakan wilayah perkembangan budaya Sunda.
Demikian pula dalam seni karawitan gagrag Banyumas dapat dijumpai ragam
komposisi musikal (gendhing) yang memiliki pola balungan dan garap dari
kedua kutub budaya ini.
Bahasa yang berkembang di Banyumas juga mencirikan adanya pertautan
antara Jawa-Sunda di dalamnya. Bahasa Banyumasan yang sangat dipengaruhi
oleh bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan juga sangat dipengaruhi oleh
bahasa Sunda. Pengaruh Sunda di sini dapat dilihat baik pada ragam kosa
kata maupun aspek langue (bahasa) dan aspek parole (tuturan). Kosa kata
dalam bahasa Banyumasan banyak di antaranya yang merupakan kosa kata
dalam bahasa Sunda. Misalnya: penggunaan kata “ci” yang berarti sungai
pada nama-nama tempat di Banyumas seperti Cilongok, Ciberem, Cionje,
Cisalak dan lain-lain. Langue adalah aspek sosial bahasa meliputi
tata-bahasa atau “aturan-aturan” yang ada pada ranah fonologis,
morfemis, sintaksis, dan semantis. Adapun aspek parole merupakan aspek
individual atau statistikal yang berkaitan dengan “gaya” atau “style”
seorang individu6. Pengaruh Jawa-Sunda pada bahasa Banyumasan dibatasi
oleh aliran Sungai Serayu. Di sebelah selatan dan timur aliran sungai
Serayu berkembang pengaruh bahasa Jawa, sedangkan di sisi utara dan
barat dipengaruhi oleh bahasa Sunda.
Kebudayaan Hindu-Budha. Kebudayaan Hindu-Budha telah memberikan
pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan dan perkembangan
kebudayaan Banyumas. Pengaruh ini dapat dilihat dari sisi fisik dan
non-fisik. Pengaruh kebudayaan fisik dapat dilihat pada artefak-artefak
yang dapat ditemukan di berbagai tempat di wilayah Banyumas dalam bentuk
arca, lingga/palus, yoni dan lain-lain. Adapun pengaruh non fisik dapat
dijumpai pada pemahaman terhadap kekuatan ghaib yang datang dari
dewa-dewi.
Kebudayaan Islam. Agama Islam yang telah dianut oleh sebagian besar
warga masyarakat Banyumas telah memberikan pengaruh yang begitu kuat
terhadap perjalanan kebudayaan Banyumas. Di daerah ini diketahui
berkembang varian Islam abangan yang umumnya berkembang di daerah-daerah
pedesaan. Kuatnya pengaruh Islam abangan di daerah ini dapat dilihat
pada aspek kebudayaan yang bercirikan ‘budaya membingkai agama’.
Pemahaman tentang ketuhanan biasanya dibingkai dalam berbagai bentuk
perilaku budaya. Selain itu, di daerah ini banyak berkembang ragam
kesenian yang bernafas islami seperti dijumpai pada slawatan, angguk,
aksimudha, aplang, tunil dan rodat. Kebudayaan Kolonial. Kolonialisme
Barat (baca: Belanda) yang begitu lama bercokol di Banyumas telah
memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap eksistensi kebudayaan
Banyumas. Pada berbagai aspek kebudayaan Banyumas dapat dijumpai
kuatnya pengaruh kebudayaan kolonial. Contoh konkret untuk hal terakhir
ini dapat dilihat pada kebiasaan minum (minuman keras) sebagai
kelengkapan pertunjukan kesenian yang lazim disebut marungan.
Kebudayaan Barat Modern. Modernisasi yang datang dari negara-negara
Barat telah memberikan pengaruh pada dinamika perkembangan kebudayaan
Banyumas. Arus budaya massa sebagai bagian dari pengaruh globalalisasi
telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan pola pikir, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dampaknya dapat dirasakan pada hampir
segala aspek kehidupan. Dalam bidang kesenian dapat dirasakan melalui
perkembangan kesenian tradisional yang banyak menggunakan
peralatan-peralatan modern dan unsur-unsur modern lainnya sebagai bagian
dari kelengkapan pertunjukan. Selain itu telah lahir dan muncul ragam
kesenian tandingan yang memadukan tradisi-modern di dalamnya.
Musik Kenthongan di Banyumas
Siapa mengira kenthongan akan menggegerkan masyarakat Banyumas? Dulu
kenthongan hanyalah sekedar jenis peralatan tradisional bergelantungan
di pos-pos ronda atau teras rumah penduduk. Kini alat ini telah berubah
menjadi sarana pertunjukan yang cukup menghebohkan. Bukan hanya
setahun-dua tahun. Semenjak kelahirannya sekitar tahun 1986 perkembangan
musik kenthongan musik tidak surut. Pertumbuhannya kian merebak ke
seluruh pelosok desa di Kabupaten Banyumas hingga mencapai kurang lebih
368 grup pada tahun 2004.
Musik kenthongan di Banyumas telah lahir dan berkembang menjadi musik
yang begitu atraktif dan bergairah. Setiap grup dapat menampilkan
kreativitasnya masing-masing secara bebas, tanpa aturan-aturan baku yang
mengekang kreativitas. Kebebasan kreativitas inilah yang menjadi salah
satu daya tarik dari musik ini. Setiap grup bisa menyederhanakan atau
merumitkan teknik permainan musik sesuai dengan kemampuan dan keinginan
mereka. Setiap individu bisa mengekspresikan pengalaman estetis dalam
wadah pertunjukan musik yang dipadu dengan tari-tarian, atraksi badut
atau bahkan cheers leader dan marching band. Benar-benar bebas, enjoy.
Musik kenthongan di Banyumas sebenarnya sudah dapat dijumpai pada
awal dekade tahun 1970-an. Di wilayah Kecamatan Cilongok, Kabupaten
Banyumas (kurang lebih 10 km di sebelah barat Kota Purwokerto) dijumpai
ada sekelompok masyarakat yang mengembangkan alat-alat kenthongan
menjadi semacam perangkat musik. Caranya adalah membuat alat kenthongan
dalam jumlah banyak kemudian ditabuh bersama-sama. Pada waktu itu ada
yang mencoba memasukkan alat musik mirip dengan angklung yang cara
membunyikannya adalah dengan memukul bilah-bilah nada di dalamnya.
Selanjutnya jadilah aransemen musikal dari alat kenthongan yang
dilengkapi dengan alat musik mirip angklung.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, musik kenthongan mulai tumbuh
subur diawali sejak digalakkannya kegiatan Kamtibmas (keamanan dan
ketertiban masyarakat) oleh jajaran Kepolisian tahun 1986. Untuk
mengefektifkan program Kamtibmas, jajaran Kepolisian Daerah Jawa Tengah
mewajibkan setiap rumah tangga memiliki alat kenthong yang digunakan
untuk komunikasi apabila sewaktu-waktu terjadi peristiwa tertentu yang
membutuhan bantuan orang lain. Pada malam hari digalakkan pula kegiatan
ronda dengan istilah Siskamling (sistem keamanan lingkungan). Pada saat
ronda malam, para petugas ronda membunyikan kenthongan secara
terorganisir sehingga menjadi jalinan komposisi musikal yang bersifat
metris tanpa melodi dengan tujuan agar tidak jenuh dalam melaksanakan
jaga malam. Komposisi musikal sederhana ini lalu dijadikan sebagai
sarana mengiringi berbagai nyanyian yang mereka hafal. Demikianlah
setiap malam para petugas ronda melaksanakan jaga malam keliling kampung
sambil bernyanyi sekenanya dengan iringan aransemen musikal yang
dihasilkan oleh kenthongan yang mereka bawa.
Jajaran Kepolisian di Kabupaten Banyumas kemudian menangkap kebiasaan
bermain musik para petugas ronda itu melalui lomba thek-thek kamling
yang dimulai pada level antar kampung di tingkat desa, tingkat kecamatan
dan berakhir di tingkat Kabupaten. Setiap peserta lomba diwajibkan
membawakan lagu-lagu tertentu yang berisi pesan-pesan keamanan dan
ketertiban lingkungan. Pada waktu itu, ada satu grup yang hampir selalu
menjuarai lomba thek-thek Kamling di tingkat Kabupaten, yaitu grup musik
kenthongan dari Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas.
Keberhasilan grup musik thek-thek asal Kalisalak menjuarai setiap
perlombaan telah menumbuhkan motivasi bagi grup-grup musik kenthongan
lain di Kabupaten Banyumas. Sejak itulah musik kenthongan kemudian
berkembang di berbagai penjuru wilayah Kabupaten Banyumas sebagai ragam
musik alternatif yang bukan saja digunakan untuk siskamling (ronda)
melainkan juga untuk keperluan hiburan bagi warga masyarakat di sekitar
grup-grup itu berada.
Hingga saat ini musik thek-thek masih terus tumbuh subur hampir di
seluruh wilayah Kabupaten Banyumas. Masyarakat umumnya merasa “enjoy”
dengan musik tersebut. Perasaan senang umumnya timbul disebabkan oleh
kemudahan cara menyajikan, tersalurnya kreativitas seni yang dimilikinya
serta sifat sajian yang bebas sehingga setiap orang dapat datang dan
main tanpa dibatasi oleh jumlah pemain, keterbatasan alat maupun hal-hal
lain yang bersifat teknis sajian. Pada kenyataannya siapapun dapat
mengambil peran sebagai penabuh, penari, badut, semacam mayoret, dan
lain-lain. Kebebasan kreativitas inilah salah satu daya tarik dari musik
thek-thek.
Alat musik. Sebagai penggabungan dari berbagai varian musik, maka
hingga saat ini tidak ada pembakuan di dalam sajian kenthongan. Setiap
orang atau kelompok masyarakat dapat menciptakan berbagai bentuk alat
musik yang berbeda-beda baik dalam hal bentuk maupun fungsi dalam sajian
musikal sesuai dengan daya kreativitas masing-masing. Sejauh ini di
dalam perangkat musik thek-thek dapat dijumpai alat-alat sebagai
berikut: a. Kenthongan dengan nada besar b. Kenthongan dengan nada
sedang c. Kenthongan dengan nada kecil d. Instrumen melodi mirip calung
e. Instrumen melodi mirip angklung f. Alat musik mirip gendang/bass g.
Tepak, instrumen mirip drum h. Alat musik mirip simbal i. Seruling atau
sejenisnya j. Bilah bambu tanpa nada untuk bunyi “tek-tek” k. Lain-lain
alat musik yang umumnya perkusi.
Pemain thek-thek dapat dilakukan oleh pria, wanita atau
gabungan pria dan wanita dengan jumlah tidak terbatas. Dalam satu grup
musik thek-thek memungkinkan dilakukan oleh sedikit atau banyak pemain
bergantung pada keikut sertaan anggota masyarakat pada saat
berlangsungnya pertunjukan. Oleh karena itu dalam satu sajian dan sajian
lain memungkinkan jumlah pemain yang berbeda.
Para pemain musik thek-thek secara umum dapat dibagi dalam berbagai
peran antara lain: a. Penabuh, yaitu pemain yang bertugas menabuh atau
membunyikan alat-alat musik. b. Mayoret, yaitu pemain yang bertugas
mengatur barisan seperti layaknya mayoret pada drum band. c. Penari,
yaitu pemain yang bertugas membawakan ragam tarian tertentu yang
diiringi oleh lagu-lagu tertentu yang disajikan. d. Badut, yaitu pemain
yang memakai kostum-kostum lucu sebagai salah satu daya tarik sajian.
Rias dan Busana. Rias-busana dalam pertunjukan musik kenthongan tidak
ada ketentuan khusus. Pada umumnya para penabuh mengenakan kostum yang
lazim dipakai pada saat melaksanakan siskamling, yaitu celana komprang,
baju potong Jawa, iket dan sarung. Mayoret dan penari yang biasanya
dilakukan oleh wanita mengenakan pakaian berupa baju kebaya dan jarit.
Dijumpai pula penari yang mengenakan berbagai macam aksesories panggung.
Rias yang diterapkan biasanya ala kadarnya dengan basis rias ayu.
Adapun badut mengenakan kostum yang lucu-lucu. Namun demikian yang harus
diketahui adalah bahwa rias kostum tersebut tidak dapat
digeneralisasikan untuk setiap penampilan musik thek-thek. Setiap grup
dapat melakukan penampilan yang berbeda-beda sesuai dengan daya
kreativitasnya.
Teknik Sajian. Teknik sajian musik thek-thek juga sangat variatif
sesuai dengan daya kreativitas masing-masing grup. Biasanya dalam suatu
pertunjukan thek-thek disajikan berbagai macam lagu baik lagu-lagu yang
bernuansa tradisional, modern maupun “pop”, termasuk di antaranya
lagu-lagu nasional. Sajian lagu-lagu tersebut dipimpin oleh seorang
mayoret dan digunakan untuk mengiringi tarian para penari maupun badut.
Penyajian musik thek-thek tidak memerlukan tempat-tempat yang harus
dipersiapkan secara khusus. Pada umumnya musik ini disajikan di
tempat-tempat terbuka seperti di jalan-jalan desa, lapangan atau halaman
yang luas.
Dampak Perubahan Sosial
Modernisasi yang tengah melanda kehidupan masyarakat Banyumas saat
ini merupakan sebuah proses perubahan yang belum selesai. Proses ini
akan terus berlanjut hingga menemukan bentuk sebagaimana yang diinginkan
oleh setiap anggota masyarakat yang bermukim di daerah ini. Agus Salim7
mengungkapkan bahwa kematangan masyarakat menuju masyarakat industri,
memiliki bentuk transisi yang cukup panjang dan lama dalam bentuk
orientasi sekarang (present oriented). Dalam masyarakat transisi bentuk
rasionalitas yang didambakan belum muncul sebagai potensi utama, karena
modernisasi baru direspon sebagai ‘kekaguman’ bentuk luar dari
kebudayaan Barat. Hal ini sebagaimana diungkapkan Selo Sumarjan bahwa
masyarakat akan mengalami tahap-tahap modernisasi yang terjadi di
hadapannya, yaitu taraf yang paling rendah ke tingkat yang paing tinggi,
meliputi: (1) modernisasi tingkat alat, (2) modernisasi tingkat
lembaga, (3) modernisasi tingkat individu, dan (4) modernisasi tingkat
inovasi8.
Aspek paling spektakuler dari modernisasi adalah penggantian
teknik-teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern.
Kenyataan ini terjadi hampir pada setiap bidang kehidupan manusia dewasa
ini, tidak terkecuali bidang-bidang yang tradisional sekalipun9.
Kenyataan dapat dilihat dalam kehidupan ragam kesenian di Banyumas.
Dewasa ini berbagai ragam kesenian tradisional yang sebelumnya menjadi
bagian dari perjalanan tradisi masyarakat setempat, banyak diantaranya
yang tergeser oleh ragam kesenian modern. Ragam kesenian tradisional
seperti angguk, aksimuda, aplang, bongkel, krumpyung, buncis dan
sejenisnya, sekarang hampir tidak pernah terdengar lagi hadir dalam
bentuk sajian bagi masyarakat pendukungnya. Jenis-jenis kesenian semacam
ini telah digantikan oleh produk seni lain yang dianggap sepadan dengan
kebutuhan estetis masyarakat setempat.
Ada tiga jenis kesenian tradisional khas Banyumas yang hingga kini masih mampu bertahan dalam kancah persaingan dengan cabang-cabang seni
modern, yaitu wayang kulit, ebeg dan lengger Banyumasan. Semenjak dekade
tahun 1970-an dan 1980-an ketiga jenis kesenian ini telah menjadi
semacam trade mark bagi eksistensi kebudayaan Banyumas dan masih
berlanjut hingga sekarang. Nampaknya berdasarkan perkembangan ketiga
jenis ini kemudian R. Anderson Sutton menyebut era tahun 1980-an sebagai
era demokrasi modern bagi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan
Banyumas10.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui telah terjadi kemajuan
pesat yang mampu mengangkat Banyumas dari kategori “rakyat” dan mampu
berdiri sederajat dengan seni istana. Mulai tahun 1980 disebutnya
sebagai era demokrasi modern, setidak-tidaknya memberi suasana yang
kondusif bagi dukungan terhadap kesenian rakyat. Ini berbeda dengan pada
masa masa-masa kerajaan yang telah menempatkan seni-seni istana
memegang supermasi dalam kehidupan sosial. Sungguh pun demikian
sebenarnya pernyataan Sutton tidak berlaku bagi beberapa ragam kesenian
seperti disebut pertama, yang dewasa ini dapat dikatakan telah mengalami
kepunahan.
Tarik-ulur antara tradisi dan modern dalam pertumbuhan dan
perkembangan kesenian di Banyumas ternyata telah mempu melahirkan ragam
kesenian baru yang merupakan perpaduan dari keduanya. Lahirnya musik
kenthongan di Banyumas sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat setempat. Hal ini sebagaimana
dikatakan Arnold Hauser dalam kutipan berikut:
This is in spite of fact that art both influences and is influenced
by social changes, that it initiates social changes while itself
changing within them. Art and society are not monolithically related;
each of them can be object as well as subject. The influence of art on
society is not even the more dominant or significant force in this
mutual relationship. The influence that starts in society and is
directed toward art determines the nature of the relationship more than
reserve, where a form of art—already characterized by interpersonal
relationships—reacts upon society11.
Pernyataan Arnold Hauser membuktikan bahwa keberadaan kesenian dalam
konteks perubahan sosial merupakan dua hal yang saling berhubungan satu
sama lain. Keberadaan kesenian sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial,
demikian pula perubahan sosial mendapat pengaruh dari keberadaan suatu
bentuk kesenian di lingkungan sosial masyarakat yang bersangkutan.
Kesenian dan masyarakat sama-sama memungkinkan menjadi obyek sekaligus
subyek yang saling berpengaruh terhadap perubahan bagi keduanya.
Pengaruh seni terhadap masyarakat tidak selalu memiliki kekuatan yang
lebih dominan atau signifikan. Pengaruh yang berawal di dalam masyarakat
dan ditujukan terhadap seni menentukan hubungan yang alami lebih dari
sekedar reserve, di mana sebuah bentuk seni—dicirikan oleh hubungan
antar personal—bereaksi terhadap masyarakat.
Proses perubahan semacam ini terjadi pada konteks perubahan sosial
yang terjadi pada masyarakat Banyumas yang saat ini tengah menuju ke
arah modernisasi. Keberadaan musik kenthongan di Banyumas tidak lepas
dari perubahan sosial masyarakat di daerah itu. Dalam hal ini perubahan
sosial dimungkinkan telah memicu kelahiran musik kenthongan yang saat
ini perkembangannya tengah mengalami booming. Namun demikian kelahiran
musik ini berpotensi memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial bagi
masyarakat setempat. Dilihat dari sisi banyaknya jumlah anggota tim
(mencapai 40-65 orang per grup), kesenian ini berpotensi memberikan
pengaruh bagi tumbuhnya jiwa corsa, kesatuan dan kebersamaan antar
individu di dalam kehidupan sosial mereka. Demikian juga dari sisi
pertunjukan yang menyajikan perpaduan antara tradisi-modern memungkinkan
menuntun kehidupan mereka pada arus modernisasi yang tetap
mempertahankan tradisi masa lalu.
Dalam konteks pembentukan musik kenthongan Roy Bhaskar12 menyatakan
bahwa perubahan sosial biasanya terjadi secara wajar (naturaly),
gradual, bertahap serta tidak pernah terjadi secara radikal atau
revolusioner. Proses perubahan sosial meliputi proses reproduction dan
proses transformation. Proses reproduction adalah proses
mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala hal yang diterima sebagai
warisan budaya dari nenek moyang kita sebelumnya. Proses transformation
adalah suatu proses penciptaan hal yang baru (something new) yang
dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (tool and technologies),
yang berubah adalah aspek budaya yang bersifat material, sedangkan yang
sifatnya norma dan nilai sulit sekali diadakan perubahan (bahkan ada
kecenderungan untuk dipertahankan).
Kelahiran musik kenthongan pastilah merupakan rangkaian mata rantai
perjalanan kesenian di Banyumas yang telah bersimbiosis dengan perubahan
sosial yang terjadi terus-menerus. Di tengah perubahan sosial inilah
musik kenthongan lahir sebagai lokal genius masyarakat Banyumas. Musik
kenthongan atau thek-thek lahir sebagai kesenian alternatif yang dapat
mewadahi kebutuhan masyarakat Banyumas akan hadirnya bentuk sajian seni
yang digunakan sebagai sarana ekspresi sekaligus pemenuhan kebutuhan
estetis dalam dirinya. Musik ini selanjutnya berkembang mengarah pada
bentuk entartaiment melibatkan dua hal selama ini banyak
dikontradiksikan; tradisi-modern. Namun demikian hadirnya kedua warna
ini justru membuktikan bahwa masyarakat Banyumas yang saat ini tengah
berjalan di rel modernisasi tidak sepenuhnya meninggalkan kehidupan masa
lalu mereka yang berakar dari kerakyatan. Warna tradisional di dalam
pertunjukan kenthongan adalah ekstrak atau kristalisasi dari produk
kebudayaan lama yang masih dipertahankan dalam mewujudkan bentuk
kreativitas seni. Oleh karena itu pada banyak segi di dalamnya merupkan
bentuk imitasi dari ragam kesenian yang sudah ada sebelumnya.
Banyumas yang kaya akan bambu telah melahirkan berbagai jenis musik
tradisional seperti calung, angklung, krumpyung, gondoliyo/bongkel.
Jenis musik ini sama-sama memiliki instrumen terbuat dari bambu wulung.
Ketersediaan bahan baku yang melimpah di daerah ini memungkinkan
melahirkan daya kreativitas masyarakatnya. Bambu-bambu itu dibuat
menjadi bilah-bilah nada yang dilaras sesuai dengan keperluan sajian
musik. Ada yang dibuat model nada-nada yang dirangkai dalam satu
rancakan dan teknik menabuhnya dengan cara dipukul; maka jadilah calung.
Ada pula bilah-bilah nadanya yang digantung sehingga teknik menabuhnya
dengan cara digoyang; maka jadilah angklung, krumpyung dan bongkel. Dari
keempat jenis musik ini, yang paling populer adalah calung yang
biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan lengger.
Dilihat dari sisi organologis, secara fisik instrumen kenthongan
merupakan bentuk metamorfosis dari alat-alat musik tersebut di atas.
Romantisme masyarakat Banyumas terhadap masa lalu yang melekat pada
pertunjukan-pertunjukan rakyat seperti calung, angklung, krumpyung,
gondoliyo/bongkel—semua alat musik bambu—yang berpadu dengan nuansa
kekinian telah melahirkan ide-ide kreatif melalui musik kenthongan.
Sebagai sebuah metamorfosis, di dalam proses penciptaan musik kenthongan
tentu saja terjadi proses imitasi terhadap ragam alat musik yang sudah
ada sebelumnya. Proses imitasi tersebut tidak sekedar dalam bentuk
“fotocopy” belaka, tetapi juga melakukan inovasi dengan memasukkan
unsur-unsur “baru” mulai dari ragam dan bentuk alat musik (organologi),
lagu-lagu yang disajikan, ragam tarian, jumlah personal, rias-busana,
aksesories pertunjukan dan lain-lain. Proses imitasi dan inovasi seperti
ini semakin lama semakin mewujudkan suatu bangunan musik yang lengkap
dan semakin menarik ditonton sehingga semakin banyak masyarakat yang
menyukai maka semakin bermunculaan kelompok-kelompok musik kenthongan.
Bagaikan gayung bersambut karena begitu banyak bermunculan
kelompok-kelompok musik kenthongan dan banyaknya penonton pada setiap
penampilannya, berbagai macam organisasi formal maupun informal kemudian
mengadakan lomba dan atau festival kenthongan yang bertujuan untuk
mencari kelompok-kelompok musik kenthongan terbaik. Menurut pengamatan
penulis selama lima tahun terakhir lomba dan atau festival musik
kenthongan di Kabupaten Banyumas dilakukan lebih dari 10 kali dalam
setahun yang diselenggarakan oleh organisasi/lembaga yang berbeda-beda.
Sebagai bentuk produk lokal, musik kenthongan memungkinkan berkembang
pada dua arah, yaitu (1) sebagai bagian dari tradisi masyarakat
Banyumas, dan (2) sebagai produk budaya temporer. Untuk dapat menjadi
bagian dari tradisi sebuah masyarakat, maka musik kenthongan masih akan
terus “diuji” melalui perjalanan waktu yang cukup lama. Musik ini harus
melewati perubahan-perubahan sehingga akan terjadi kristalisasi nilai
dan bentuk. Kristalisasi nilai berkaitan dengan isi yang terkandung di
dalamnya. Nilai apa yang terkandung di dalam musik ini berkaitan dengan
pola pikir, pandangan hidup, ideologi dan kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku pada masyarakat setempat.
Kemungkinan kedua tentang hadirnya musik kenthongan sebagai kesenian
temporer, berkaitan dengan rentang waktu. Sebagai musik temporer, musik
ini lebih sekedar sebagai trend perkembangan masyarakat selaras dengan
perjalanan jaman yang akan terus berubah. Dulu calung, sekarang
kenthongan, besok ganti lagi dengan bentuk yang lain.
Kesimpulan
Musik kenthongan yang perkembangannya tengah mengalami booming dewasa
ini lahir di tengah perubahan sosial yang terjadi hampir di segala
kehidupan masyarakat Banyumas. Kehidupan masyarakat Banyumas yang terus
berubah searah dengan perkembangan jaman telah menghasilkan musik
alternatif yang memadukan konsep tradisi-modern di dalamnya. Ciri utama
dari musik ini adalah pola garapan yang bebas, tidak terikat pada pola
aturan baku yang membelenggu kreativitas. Hal ini menyebabkan setiap
grup kenthongan tampil dengan ciri khas masing-masing. Hal demikian
terjadi karena budaya Banyumas adalah ragam kebudayaan yang cenderung
terbuka bagi masuknya unsur-unsur budaya asing di dalamnya. Berbagai
unsur kebudayaan telah turut berperan membentuk kebudayaan Banyumas
hingga seperti wujudnya yang dapat dijumpai sekarang ini. Lahirnya musik
kenthongan yang terjadi pada era modernisasi telah memberikan pengaruh
tersendiri bagi musik ini yang tersaji dalam bentuk perpaduan
tradisi-modern.
Lahirnya musik kenthongan tidak lepas dari ketersediaan bahan baku
berupa bambu jenis bambu wulung. Melimpahnya bambu jenis ini terbukti
telah memberikan daya kreatif bagi masyarakat setempat yang mampu
menciptakan berbagai alat musik seperti calung, angklung, krumpyung dan
gondolio/bongkel. Dilihat dari sisi organologis, alat musik kenthongan
juga merupakan metamorfosisi dari berbagai ragam alat musik tradisional
yang ada di daerah ini.
Dalam wacana perubahan sosial, lahirnya musik kenthongan sangat
dipengaruhi oleh arus budaya massa yang telah menghasilkan budaya “pop”.
Bentuk musikal dan pertunjukannya yang mencirikan adanya perpaduan
tradisi-modern membuktikan lekatnya unsur budaya “pop” di dalam musik
yang satu ini. Namun demikian apabila dirunut lebih jauh, maka lahirnya
musik kenthongan tidak lepas dari pengaruh komunikasi lintas budaya yang
telah terjadi jauh sebelum masuknya arus budaya modern ke wilayah
Banyumas.
Pada masa yang akan datang terjadi dua kemungkinan kelanjutan
perkembangan musik kenthongan, yaitu sebagai bagian dari tradisi
masyarakat Banyumas, dan sebagai produk budaya temporer. Kedua
kemungkinan ini sama besar peluangnya dan masing-masing akan menjadi
kenyataan sesuai dengan kehendak masyarakat Banyumas selaku pendukung
kesenian ini. Apabila perkembangan musik kenthngan terus berlanjut
dengan mengalami pengkristalan, bukan tidak mungkin kesenian ini akan
menjadi bagian dari perjalanan tradisi masyarakat Banyumas. Namun
demikian apabila kehadiran kenthongan lebih sekedar sebagai trend, maka
pada akhirnya musik ini akan tergeser oleh ragam kesenian yang datang
kemudian sebagai trend perkembangan lebih lanjut.
Sumber : Wikipedia